Menjadi Manusia Bertauhid
Secara etimologis (bahasa), tauhid dari berasal dari kata ahad yang berarti satu, tunggal, atau Esa. Sedangkan secara terminologis (istilah), tauhid berarti meng-Esa-kan segala perbuatan Allah, meng-Esa-kan nama-nama dan sifat-sifat Allah, dan meng-Esa-kan seluruh amal ibadah kita hanya untuk Allah semata.Sedangkan tauhid itu sendiri dibagi menjadi tiga macam :
1. Tauhid Rububiyyah, yang menjadi subjek (pelaku) adalah Allah maksudnya tauhid yang berhubungan dengan segala perbuatan Allah seperti Mencipta, Memelihara, Mneghidupkan, Mematikan, dsb.
2. Tauhid Uluhiyyah, manusia menjadi subjeknya, maksudnya segala perbuatan manusia tidak diperkenankan keluar dari ketauhidannya kepada Allah atau tidak menyelutukan Allah dalam setiap perbuatannya.
3. Tauhid Asma’ Wash Shifat, yaitu meyakini sifat-sifat dan nama-nama Allah yang telah Allah tetapkan dalan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menetapkan bahwa sifat-sifat dan nama-nama Allah berbeda dengan mahluk-Nya.
Untuk pembagian tauhid sendiri butuh perlu dijabarkan dalam artikel tersendiri mengingat pembahasannya yang kompleks.
Tauhid itu sendiri adalah tujuan penciptaan mahluk (manusia dan jin) sebagaimana firman Allah :
“Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Kemudian muncul pertanyaan kapan kita diperintahkan untuk bertauhid?
Dalam ayat di atas dapat kita dapati bahwa sebelum kita diciptakan saja Allah telah memiliki tujuan penciptaan kita yaitu ibadah kepada-Nya dan inti dari ibadah itu sendiri adalah tauhid. Jadi setiap mahluk (Jin dan manusia) diciptakan untuk bertauhid. Dengan kata lain, bersamaan dengan penciptaan beban tauhid telah melekat pada kita. Dan tauhid itu sendiri adalah fitrah manusia. Dan setiap jiwa yang terlahir ke dunia ini memiliki fitrah Tauhid, kemudian tergantung orang disekitarnya yang akan menjadikan dirinya seorang yahudi, nasrani, atau majusi.
Alasan mengapa kita harus bertauhid tidak akan mampu dituliskan seluruhnya oleh ulama manapun. Mengapa saya mengatakan seperti itu, karena sangalah besar rahmat dan nikmat Allah sedangkan manusia mahluk yang sering tidak bersyukur. Mari kita ambil contoh pada penciptaan sehelai rambut, bila kita mampu mengurai hikmah penciptaan sehelai rambut itu dan mensyukurinya, maka di dalam penciptaannya terdapat jutaan alasan atau bahkan lebih yang bisa kita jadikan alasan untukl bertauhid kepada Allah. Sebagaimana firman Allah :
“ Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, Niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya…” (QS. An-Nahl : 18)
Pada ayat di atas Allah memberitahukan kepada kita bahwa nikmat-Nya tak terhingga jumlahnya. Dan apabila kita lebih arif dalam mentadzaburi ayat tersebut, maka kita akan mendapati bahwa satu nikmat dario Allahsudah cukup menjadi satu alasan untuk bertauhid. Dengan kata lain, konsekuensi dari nikmat-nikmat Allah adalah tauhid kepada –Nya. Maka dari itu, sesungguhnya kita memiliki alasan yang tidak terbatas jumlahnya untuk mentauhidkan Allah. Saya ambilkan contoh, bila saja ada satu nikmat Allah yang tiba-tiba diambil dari kita semisal penglihatan kita. Subhanallah, kita akan merasakan betapa sungguh sangat berartinya penglihatan itu bagi kita. Apakah ada alasan lagi bagi kita untuk tidak mentauhidkan-Nya? Karena tak terhingganya nikmat Allah kepada kita, secara implisit(tersirat) Allah menutup seluruh alasan bagi kita untuk tidak mentauhidkan-Nya.
Beberapa orang terlalu sempit mendefinisikan tauhid itu sendiri. Seolah-olah tauhid itu hanya ada dalam aspek-aspek ibadah. Demi Allah wahai saudaraku, Allah menuntut kita untuk mentauhidkannya di seluruh aspek kehidupan. Mari kita urai satu per satu. Ambilah contoh seorang penuntut ilmu (pelajar/santri) ketika dia paham tentang konsep tauhid, dia akan semangat dan bersabar dalam menuntut ilmu.
Karena apa? Karena dia paham Allah memiliki sifat suka dengan orang sabar. Sebagaimana firman Allah :
“Wahai orang-orang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah:153)
Begitu juga dengan pegawai, pejabat, pedagang, dan semua macam profesi, mereka akan amanah dalam pekerjaannya dan tidak akan berani mendurhakai Allah. Karena mereka mengetahui Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar, dan Allah Maha Mengetahui. Maka dari itu tidak ada udzur(keringanan) sedikitpun bagi semua mahluk baik kapan saja, dimana saja, dalam keadaan apa saja untuk tidak mentauhidkan Allah.
Sejatinya orang yang bertauhid adalah orang yang sedang berjalan di atas Sirath Al-Mustaqim. Dan Sirath Al-Mustaqim itu sendiri adalah Al-Islam, Al-Qur’an, As-Sunnah, At-Tauhid yang kesemuanya itu tentunya berdasarkan pemahaman agama dari orang-orang yang berkompeten (ahli dibidangnya) dan komprehensif (menyeluruh) atau integral (satu padu) bukannya parsial (terpisah-pisah) atau bahkan fragmental (terpotong-potong).
Siapakah orang yang berkompeten dan komprehensif pemahamannya dalam agama Islam? Tak lain adalah para Shahabat ridwanallah ajma’in. Maka dari itu, barangsiapa yang dalam beragamanya keluar dari pemahaman para shahabat maka sejatinya dia tidak lagi meniti di atas Sirath Al-Mustaqim (Jalan yang Lurus). Apa alasannya para shahabat mendapatkan keutamaan itu? Karena Allah Sendiri pun telah mengakui eksistensi(keberadaan) mereka. Sebagaimana firman-Nya :
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (QS. Ali Imran : 110)
Dan juga hadits rasulullah dari Shahabat Abdullah Ibnu Mas’ud, ia berkata : “Rasulullah bersabda, ‘Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku (para shahabat), kemudian sesudahnya (para tabi’in), kemudian setelahnya (para tabi’it tabi’in) ‘ .” (Muttafaqun ‘Alaihi : HR. Al-Bukhari no. 2652, 3651, 6429, 6658; Muslim no. 2533(212))
Orang-orang yang bertauhid adalah orang yang beriman. Maka dari itu, ketauhidan seseorang tergantung dari keimanannya. Mengapa bisa demikian, belum dikatakan bertauhid bila dia belum beriman adan belum dikatakan beriman sebelum dia bertauhid. Dan iman itu sendiri memiliki konsekuensi yaitu amal shalih. Dengan kata lain, belum dikatakan beriman bila seseorang belum mengerjakan amal shalih. Akan tetapi tidak sebaliknya, setiap orang yang melakukan amal shalih tidak bisa dipastikan secara mutlak dia telah beriman (hal ini berkaitan dengan nifaq-nya orang-orang munafiqin). Adapun orang-orang beriman ciri-cirinya :
(dalam QS. Al-Anfal :2-4)
1. Bila disebut Asma Allah bergetar hati mereka
2. Bila dibacakan ayat-ayat Allah bertambah iman mereka
3. Bertawakal hanya kepada Allah
4. Mendirikan shalat
5. Menafkahkan rizki di jalan yang diridhai Alla
(dalam QS. Al-Mu’minun: 2-11)
6. Mereka khusyu’ dalam shalatnya
7. Menjauhkan diri dari hal yang tidak berguna
8. Menjaga kemaluannya
9. Memelihara amanat dan shalatnya
(dalam QS. Al-Furqan :63)
10. Rendah hati (tawadhu’)
11. Tutur kata mereka mengandung keselamatan
Maka sebagai penutup wahai saudaraku sekalian –yang dirahmati Allah- mari kita bertauhid dan istiqamah dalam tauhid kita hingga akhir hayat. Dengan kita bertauhid kita telah melaksanakan tujuan penciptaan kita (QS. Adz-Dzariyat :56). Dengan kata lain kita telah taat kepada Allah. Dan orang-orang yang taat ada balasan di sisi Allah, sebagaimana firmannya :
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan rasul-Nya mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah, yaitu : para nabi, para shiddiqiin, para syuhada, dan orang –orang shalih. Dan mereka itulah sebaik-baiknya teman. “ (QS. An-Nisaa’ :69)
Bertauhidlah wahai saudaraku, bertauhidlah! Niscaya kalian akan selamat. Jadikanlah keluargha kalian orang-orang yang bertauhid, teman kita, kantor kita, dimanapun kita berada tegakkanlah “Laa ilaaha illallah”
semoga anda sekalian diberikan limpahan taufik dan hidayah agar mampu selalu menjaga ketauhidan anda. Wallahu A’lam Bi Shawwab.
0 komentar: